Menurut S.C. Philips pada artikel berjudul Genetically Engineered Foods: Do They Pose Health and Environmental Hazards? pada tahun 1994, mengungkapkam bahwa saat memindahkan materi genetic baru terdapat beberapa kemungkinan terburuk, antara lain:
Hal-hal tersbut dapat menyebabkan mutasi tidak terduga sehingga membuat tanaman yang dihasilkan beracun, subur, atau tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Tanaman GMO yang rentan terhadap hama dan penyakit dapat merusak keseimbangan lingkungan. Hal ini dikarekan hama pada tanaman tersebut akan lari mencari inang baru di perkebunan konvesional. Akhirnya petani harus berinvestasi terhadap tanaman GMO yang harganya lumanyan mahal. Selain itu, gulma yang biasa tumbuh di antara tanaman, memungkinkan penyerbukan silang yang menghasilkan tanaman gulma yang resisten terhadap herbasida dan pestisida.
Menurut artikel Dentification of Brazil Nut Allergen in Transgenic Soybeans pada jurnal The New England Journal of Medicine (1996) pada produk GMO yang telah ditarik dari peredarannya. J.A, Nordlee dan timnya membuktikan bahwa kacang Brazil menyebabkan alergi konsumennya akibat sumber-sumber non makanan dan kombinasi gen baru.
Saat ini memang hanya penelitian tersebut yang membuktikan bahaya GMO dalam makanan. Walaupun begitu, kampanye tentang bahan makanan dengan GMO terus dilakukan. Seperti yang dilakukan kelompok advokasi makanan berbasis di Washington dan dikutip dari The Newsletter of The Illinois State Bae Association’s Section on Agricultural Law oleh R.E. Robinson (2013). Advokasi ini mengkhawatirkan konsumsi bahan makanan GMO dapat menyebabkan kehilangan nutrisi, kemunculan racun baru, alergen dan efek samping potensial lainnya.
Kesimpulan yang dapat diambil ada baiknya jika kita mengurangi bahkan tidak mengomsumsi bahan makanan yang mengandung GMO. Tidak ada kata ‘terlalu berhati-hati’ untuk kesehatan kan?
(Sumber Foto: Markus Spiske/Unsplash.com)